Judul: Otobiografi Valentino Rossi; Andai aku tak pernah mencobanya...
Judul Asli: The Autobiography of Valentino Rossi; What if I had never tried it
Penulis:
Valentino Rossi
Penerjemah: Doni Suseno
Kategori: Biografi dan Memoar
Penerbit: UFUK PRESS
Cetakan: Ketiga, Juni 2006
Ukuran: 15 x 23.5 cm
Tebal: 302 halaman
Kondisi: Bagus
Harga: TERJUAL - BANDUNG
Order: SMS 083862205877
Sewaktu kecil, ia hanya ingin jadi pembalap sepeda tercepat. Impiannya menjadi juara dunia. Tetapi, ia telah meraih lebih dari impian tertingginya: ia mendominasi berbagai kejuaraan, ia mematahkan lusinan rekor, ia mengoreksi batas kecepatan dalam dunia balap motor, dan ia menciptakan tren baru.
Ia adalah dewa sirkuit motor, raja MotoGP, penguasa balapan motor. Ia tak terkalahkan. Pada 2002, saat usianya baru 23 tahun, ia sudah mampu meraih sukses yang belum pernah dicapai siapa pun, memenangkan kejuaraan dunia untuk semua kategori: 125cc, 250cc, 500cc, dan MotoGP. Ia telah menang di level internasional dengan Aprilia, Honda, dan Yamaha. Sabtu, 18 April 2004 di Welkom, Afrika Selatan adalah hari yang akan selalu diingat dalam sejarah balapan motor dunia, suatu momen yang mengubah wajah perhelatan kejuaraan MotoGP. Valentino Rossi memenangkan balapan pertamanya bersama Yamaha, mengalahkan Honda. Saat itu juga balapan awal Kejuaraan Dunia 2004. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan, bahkan bagi diri Rossi sendiri.
Dengan gaya tutur yang mudah dicerna, dalam otobiografinya ini, secara terang benderang The Doctor mengungkap banyak hal yang belum pernah diutarakannya ke media massa: Kepindahan dirinya dari Honda ke Yamaha, pada saat tertentu, menimbulkan tanda tanya bagi sebagian besar orang. Mengapa harus pindah? Tak puaskah dengan apa yang selama ini diperolehnya di Honda? Mengapa juga tim yang dipilih—mungkin sebagai tujuan akhir karirnya di dunia balap motor—adalah Yamaha? Mengapa bukan Ducati? Atau tim lain? Di buku ini Rossi sendiri mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Di samping itu, kita juga diajak menengok masa-masa awal ia meniti karir, keseharian dengan teman-temannya di Urbino, Italia, perseteruannya dengan Biagi, mengapa nomor 46 menjadi spesial buat Rossi, dan masih banyak lagi.
Awal aku memutuskan pindah dari Honda ke Yamaha, JB tidak mau ikut denganku. Dia berkata, apalagi yang kurang dari Honda, ini motor sempurna dan saat ini tak ada yang mampu menandinginya. Pernyataan ini membuatku muak dan jengkel, aku mengira dia (JB) yang pernah berkata akan selalu bersamaku malah mengingkarinya, pernyataan itu dia ungkapkan karena dia yakin aku tak akan meninggalkan RC211V seperti Doohan yang juga tak mau meninggalkan Honda, disisi lain dia (JB) juga tak mau tanpa diriku di Honda karena masa lalunya bersama Honda begitu tegang dan kaku karena Honda tetap pada pendirian mereka, yaitu motorlah yang paling utama
Kebulatan tekadku membuatku tetap memutuskan pindah ke Yamaha meskipun tanpa JB, apalagi kesungguhan Brivio dan Furusawa yang membuatku semakin tertarik dan tertantang untuk menaklukkan M1.
Namun setelah kemenanganku di Sepang (tepatnya setelah aku memastikan gelar juara dunia ke 3 secara beruntun dengan Honda), JB menarikku dan dengan tenang dia berkata padaku "Aku Ingin Bicara Dengan Yamaha". Bagus sekali jawabku tersenyum lega, aku akan mempersiapkan jadwalnya.
Akhirnya JB berbicara dengan Yamaha dan mengatakan "Honda adalah Tim yang hebat, namun apa yang mereka lakukan bukanlah sulap, Jika kamu lakukan apa yang Valentino katakan maka semua akan berjalan mulus". Para insinyur harus banyak bicara agar keinginan mereka didengar, merekalah yang mengutak atik motor dan Valentino adalah yang mengendarainya. Singkat cerita, diperlukan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
Semua orang Yamaha yang ada disitu, termasuk Furusawa, Jarvis dan Brivio terkagum dengan ketenangan dan kepiawaian kata-kata JB. Akurat, Ringkas dan Menyenangkan, itulah gaya bahasa JB biasanya.
0 komentar:
Posting Komentar