Rabu, 12 Maret 2014

PRRI, Pemberontakan atau Bukan?

Judul: PRRI, Pemberontakan atau Bukan?
Penulis: Syamdani
Kategori: Sejarah
Penerbit: Media Pressindo
Cetakan: Pertama, 2009
Ukuran: 14,5 x 21 cm
Tebal: viii + 124 halaman
Kondisi: Bagus
Harga: TERJUAL - JAKARTA
Order: SMS 083862205877

Saya sangat senang memperhatikan bahwa akhir-akhir ini terdapat peningkatan minat secara terbuka terhadap sejarah pemberontakan PRRI, khususnya dalam kaitannya dengan sejarah daerah Sumatera Barat serta sejarah suku bangsa Minangkabau.

Di Rantau Net ini demikian banyak postings dari para netters mengenai aspek-aspek tertentu PRRI, baik mengenai pengalaman pribadi dari beliau-beliau yang pernah ikut terlibat, maupun berbagai interpretasi dan rasionalisasi terhadap pemberontakan tersebut.. Dalam rangka peluncuran dua buah buku yang memuat himpunan tulisan wartawan Suwardi Idris tentang pengalaman beliau mengikuti PRRI di daerah Solok, beberapa waktu yang lalu bertempat di Studio TVRI Padang telah diadakan talkshow mengenai PRRI ini, yang diikuti oleh beberapa tokoh Sumatera Barat, antara lain budayawan senior Wiswan Hadi, wartawan senior Basril Djabbar, sejarawan Dr Gusti Asnan. Talkshow tersebut ditayangkan ulang di TVRI Pusat. Dari Ibu Warni Darwis, Wakil Sekjen Gebu Minang, saya mendapat khabar bahwa Bp Abdul Samad, seorang tokoh pejuang PDRI dari Bukittinggi, yang juga ikut pemberontakan PRRI, baru-baru ini tampil di TVRI Pusat menjelaskan pengalaman beliau dalam PRRI tersebut.

Saya menganggap peningkatan minat terhadap sejarah PRRI ini baik dan wajar. Memang sudah waktunya sejarah PRRI ini dibedah secara mendasar dan mendalam. Saya pernah mengkuti pembahasan masalah PRRI ini — sebagai pembicara bersama Kolonel Pur. Ventje Sumual — di kampus Universitas Indonesia, Depok, dan di The Habibie Center, Jakarta. Minggu lalu, di Apartemen #2724 Pomontory Circle di San Ramon, Cal, USA, saya berbincang-bincang semalam suntuk dengan Inyiak Sunguik Sjamsir Syarif yang telah menjalani hampir seluruh Sumatera Barat sewaktu mengikuti pemberontakan PRRI ini sebagai orang dekat dengan Bp Mohammad Natsir. Saya sungguh-sungguh mendorong beliau untuk menuliskan pengalaman beliau tersebut agar dapat dibaca oleh generasi demi generasi bangsa Indonesia pada umumnya dan suku bangsa Minangkabau pada khususnya.

Sungguh menarik untuk diperhatikan, bahwa walaupun cakupan aksinya pada taraf awal juga meliputi daerah-daerah Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, serta terkait erat dengan pemberontakan Permesta yang meliputi daerah Sulawesi Utara – namun memang hanya di daerah Sumatera Barat dan terhadap suku bangsa Minangkabau saja dampak kekalahan pemberontakanPRRI ini demikian mendalam. Tidak berkelebihan kiranya jika dikatakan bahwa walaupun pemberontakan PRRI terutama berkenaan dengan masalah politik, yaitu hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam rangka proses panjang integrasi nasional di Indonesia, namun masyarakat Minangkabau memandangnya lebih dari itu, yaitu dari perspektif sosio kultural, dengan akibat yang lebih parah, yaitu sampai patah semangat dan berlarut-larut sampai sekarang. . Saya tidak melihat dampak yang sama pada suku bangsa Batak atau suku bangsa Menado yang juga terlibat dalam pemberontakan yang sama.

Sekedar sebagai catatan dapat saya sampaikan bahwa gejala patah semangat berlarut-larut setelah kalah perang ini sama sekali bukanlah gejala baru. Seperti ditulis Kolonel KNIL Soegondo, komando tentara kolonial Hindia Belanda telah mencatat gejala yang sama sewaktu menghadapi Perang Paderi , 1821-1838. Dengan kata lain, gejala patah semangat secara berlarut setelah kalah perang itu adalah refleksi dari masalah kultural yang lebih mendasar. Dalam pengamatan saya secara pribadi, gejala patah semangat tersebut merupakan wujud dari kelemahan mendasar dari tatanan sosial Minangkabau, yang kelihatannya tidak dirancang untuk bersatu, tetapi untuk hidup dalam komunitas kecil-kecil yang saling curiga satu sama lain. Mungkin sekali, gejala patah semangat itu timbul karena tidak yakin akan dibela oleh sanak saudaranya yang lain. [Sangat mirip dengan tatanan sosial dan reaksi orang Arab setelah kalah perang]. Demikianlah, Inyiak Sunguik Syamsir Sjarief menjelaskan bahwa yang paling kejam terhadap PRRI bukanlah ‘tentara Soekarno’ tetapi justru urang awak yang jadi ‘tukang tunjuk’ dan yang menjadi anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR). Saya tahu bahwa yang menjadi anggota OPR ini pada umumnya adalah para preman yang menjadi anggota Pemuda Rakyat, onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) yang digunakan oleh Kodam III/17 Agustus untuk menghadapi pemberontakan PRRI.

Dr. Saafroedin Bahar (L, 71 th, kini sedang di San Ramon, California, USA – Staf Pengajar Prodi Ketahanan Nasional Sekolah Pasca Sarjana UGM)

1 komentar: